Berangkat dari depan gerbang
menyaksikan beberapa mahasiswa yang lalu lalang keluar masuk kampus. Perjalanan
panjang yang menyebalkan akan segera dimulai. Kurasakan kaki ini berat untuk
memulai perjalanan. Apalagi aku hanya seorang diri dalam permainan ini. Ya,
hanya seorang wanita dan lainnya 4 orang lelaki. Namun nasib baik masih
berpihak padaku. Dua orang wanita yang setingkat lebih tua dariku masih mau
menemani aku dalam perjalanan menyebalkan ini. Sebut saja mbak pipit dan mbak
anik. Meskipun dalam penugasannya aku diharuskan sendiri, setidaknya aku merasa
terlindungi dengan adanya mereka. Kakiku masih terus melangkah. Melangkah lurus
untuk mencari angkutan umum. Sepanjang perjalanan menuju depan kampus, aku dan
kelompok perjalananku berbarengan dengan bubarnya anak sekolahan disana. Disana
aku melihat pemandangan aneh. Puluhan siswa smp yang keluar dari sekolahnya itu
berbaur, dan mulai berpencar mencari kelompoknya sendiri-sendiri. Perhatianku
tertuju pada tas yang digunakan siswi yang keluar dari sekolah itu. Rasanya
aneh. Saru kalo orang jawa bilang. Siswi itu tidak menggunakan tas yang
sebagaimana mestinya dipakai seorang anak pelajar, melainkan yang aku lihat
disana dia memakai tas kecil yang biasanya dikategorikan untuk para ibu-ibu
kondangan.
Sedikit miris melihatnya.
Dalam otak terbesit pertanyaan, buku apa sih yang ada di dalam tas siswi itu?
Berapa banyak buku yang ada dalam tas kecil itu? Apa jangan-jangan isinya hanya
satu buah sisir dan alat kosmetik seperti yang dibawa para spg di mall? Hmmm
yang jelas rasanya aneh dan susah masuk ke nalar. Tapi ah yasudahlah biar itu
menjadi pekerjaan rumahku. Setelah aku dan kawan2 perjalananku sampai di tempat
mencari angkutan umum menuju kamal, kami menunggu tidak terlalu lama meskipun
kami berbarengan dengan anak pulang sekolah. Dan masuklah aku ke dalam angkutan
umum yang menurutku aneh itu. Bentuk angkutan umum di sini tidak sama seperti
yang ada di surabaya. Aku duduk di bagian pojok dari angkutan umum itu. Yang
aku rasakan saat itu adalah sebuah sesak yang lebih sesak dari pengalaman ku
slama ini naik angkutan umum. Penuh sekali. Seperti kertas yang akan di
masukkan kedalam kaleng, lalu kaleng itu penuh dan kertas yang belum masuk itu
dipaksa untuk masuk ke dalam kaleng itu. Ya seperti itulah gambaranku saat itu.
Angkutan umum ini perlahan meninggalkan daerah kampus. Semakin jauh dan semakin
meninggalkan kerumunan anak sekolah yang juga sedang menunggu angkutan umum
itu. Hembusan angin yang kencang kala aku membuka jendela angkot itu membuat
aku sedikit lega. Namun hal itu tidak bertahan lama. Kurasakan semakin kencang
angkot itu berjalan. Semakin kencang hingga kepalaku selalu membentur bagian
dari jendela angkot tersebut. Sakit rasanya walaupun sebelumnya aku juga pernah
merasakan sakitnya terbentur. Di dalam angkot aku hanya bisa melihat
orang-orang di sekitarku. Sesekali aku mengobrol dengan toto, kawan
perjalananku. Tak terasa angkot yang menyebalkan itu hampir berlabuh di
terminal. Semakin masuk dan akhirnya berhenti sampai di terminal. Aku turun
paling akhir. Dan bergitu turun, sungguh aneh aku melihatnya. Itu adalah
pertama kalinya aku masuk ke dalam terminal dalam pelabuhan kamal itu. Dan
kesan pertama yang aku dapat adalah, kumuh, kotor, dan jorok. Ya cuma itu yang
bisa aku rasakan. Mungkin aku merasakan hal lain. Tapi cukup 3 kata itu saja
yang mewakilkan betapa kotornya terminal itu. Aku mulai melangkahkan kakiku
menuju tempat pembelian karcis. Setelah karcis aku beli dengan harga mahasiswa,
padahal aku biasanya membeli karcis seharga pada umumnya. Aku merasa rendah
kala aku membeli karcis itu dengan mengatakan, beli karcis buat mahasiswa pak. Seperti itu kah layanan yang di
dapat seorang mahasiswa? Naik kapal dengan harga yang lebih murah daripada seorang
penjual ikan yg katanya derajatnya lebih rendah daripada mahasiswa?
Perjalanan
kemudian dilanjutkan di kapal. Tidak banyak yang aku tangkap disana. Pedagang
asongan pun sudah biasa ku lihat dimana-mana. Aku juga sering bertanya kepada
diri sendiri. Untuk apa orang2 melakukan hal ini. Berjualan, lalu lalang di
kapal. Tapi aku sadar jawabannya hanya 2 kata. Bertahan hidup. Sederhana tapi
berat. Di kapal aku bertemu dengan kawan seangkatan. Aku ngobrol dan bercanda.
Tidak banyak karena memang obrolan mereka gak penting dan susah masuk otakku
yang saat itu lelah karena perjalanan dari angkot. Kemudian aku di tawari kopi
oleh mbak pipit. Kakak senior ku yang ikut menemani perjalananku menuju
surabaya. Awalnya aku tidak mau. Karena aku rasa kopi itu pahit dan tidak ada
manisnya. Seperti kehidupan orang susah yang selamanya akan pahit bila belum
merasakan hidup. Namun, setelah aku mencoba seteguk kopi panas itu, yang aku
rasakan adalah manis. Awalnya. Aku pun ketagihan untuk mencobanya. Sampai
akhirnya aku merasakan pahit. Dari kopi saja aku bisa belajar. Bahwa kehidupan
tidak selamanya manis. Mungkin awalnya manis. Tapi aku juga berpikir, apabila
aku hanya mencoba-coba rasa kopi itu aku akan merasakan manis di awal dan pahit
di akhir. Begitu pula dengan kehidupan. Kita akan merasakan kepahitan yang luar
biasa apabila kita mencoba-coba bermain dengan kehidupan yang penuh kepalsuan
dengan rasa manis diawalnya.
Ombak
yang aku rasakan pada petang itu tidak begitu besar. Tidak terlalu goyang dan
tidak terlalu kuat. Hanya desiran angin yang kencang yang meniup asap-asap
rokok yang menganggu pernafasan. Tak terasa kapal berlabuh. Aku tersadar dari
lamunanku ketika melihat orang-orang berdesakan untuk turun ke bawah. Aku pun
ikut berbaur dengan mereka. Hanya berbaur. Bukan untuk bergaul. Aku bersama
kawan perjalananku meneruskan perjalana. Kami langkahkan kaki menuju terminal.
Disana aku dan kawan-kawanku mencari bis untuk menuju ke suatu tempat. Tempat
yang luar biasa. Kami naik bis ber-AC. Nyaman skali rasanya. Berbeda 360
derajat dengan angkot yang ada di madura tadi. Padahal selisihnya hanya
selembar 1000 rupiah. Lantas apa yang membedakan? Aku langkahkan kaki menuju
anak tangga yang ada di bis itu. Di dalam kendaraan besar berAC itu aku duduk
dan merasakan kenyamanan. Nyaman skali. Hanya sekitar 20 menit aku berada di
dalam bis dingin itu. Hingga akhirnya perjalanan ku sampai ke sebuah tempat. Tempat yang
dulunya sering aku kunjungi. Tempat dulu aku bermain disana. Tempat dimana
orang-orang berduit berkumpul menghabiskan uang mereka. Ya. Tunjungan plaza.
Tempat bunafit yang sekiranya hanya orang berduit dan kalangan atas saja yang
bisa menikmati megah dan mewahnya mall itu. Aku dan kawan-kawan perjalananku
mulai memasuki daerah mall itu dan menginjakkan kaki ke dalam mall itu. Biasa
saja bagiku. Tapi yang membuatku merasa aneh dan luar biasa di tempat itu
adalah budgetku yang hanya 35ribu. Itupun sudah berkurang karena perjalanan
dari madura tadi. Bagiku aku merasa sangat malu meskipun orang tidak akan
pernah tau berapa uang yang aku bawa ketika aku masuk ke pusat perbelanjaan
bunafit itu. Disana aku, kawan perjalananku, dan 2 orang mbak seniorku
berpisah. Disana untungnya hanya
mendapat tugas mengamati. Bukan mewawancarai. Dan disana pun kita dibebaskan
untuk berbelanja, cuci mata, atau hal yang lain yang ingin kita lakukan disana
asalkan kita bisa mengobservasi keadaan dalam pusat perbelanjaan itu. Bayangkan
saja kalu semisalnya aku dan kawan perjalanku di beri tugas untuk mewawancarai
penjual toko atau mereka yang menjadi bagian di mall itu, betapa mengganggunya
kita disana. Bisa-bisa aku dan kawan perjalananku itu diusir dari tempat itu
tanpa mendapat apa-apa disana.
Di
dalam pusat perbelanjaan, disitu aku dan kawan perjalananku hanya mengitari
karena aku sendiri bingung apa yang harus aku lakukan disana dengan uang yang
minim dan pas-pasan. Beruntung disana sedang ada acara. Acara yang mengundang
artis ibukota. Sambil menunggu apa yang akan observasi aku dan kawan
perjalananku melihat sejenak apa yang ada di acara tersebut. Benar saja. Disana
ada artis ibukota seperti tompi dan artis stand up comedy cak lontong. Di
tengah keramaian dan kerumunan orang yang saling menonjolkan dirinya sendiri
dengan penampilan yang mencolok ternyata masih ada saja yang peduli dan tenggang
rasa terhadap aku dan kawan perjalananku. Dia tua dan bermata sipit. Kulitnya
putih dan memegang sebuah payung. Sejenak aku berpikir bahwa itu adalah
payungnya sendiri tapi ternyata setelah beliau mengajak berbicara toto, salah
satu kawan perjalananku aku tau. “awas hpnya jatuh ke bawah dek” kata orang tua
bermata sipit itu. “oh iya pak trimakasih” dari situlah obrolan panjang antar
toto dan kakek tua itu bermula. Kawan perjalananku itu pun bertanya “apakah
disini hanya tempat untuk orang kaya dan berduit saja ya pak?” kemudian kakek
tua itu menjawab kalau tempat ini bukan hanya untuk orang kaya dan berduit
saja. Kakek tua itu menjelaskan kalau pusat perbelanjaan ini adalah tempat
orang dimana mereka butuh hiburan. Seperti halnya kakek itu yang datang hanya
seorang diri dan kalau dilihat sekilas mungkin kakek itu tidak berduit seperti
orang lainnya yang ada di dalam pusat perbelanjaan disitu. Dari situ aku bisa
menarik kesimpulan ternyata tidak selamanya orang yang berada didalam gedung
itu adalah orang kaya dan berduit. Hanya untuk saat itu aku berpikir seperti
itu. Aku juga melewati beberapa toko yang ada disana. Toko baju, tas dan
sepatu. Sekilas aku berpikir. Apa bedanya mereka dengan barang KW-an yang ada
di emperan dan toko lain yang lebih rendah dari mereka. Model pakaian, tas dan
sepatunya pun sama saja. Dari ditu aku bisa menarik kesimpulan. Barang mewah
yang ada di toko ubnafit itu dengan barang kw-an yang ada di emperan ternyata
hanya dibatasi oleh sepatah dua kata yang disebut merk. Setelah lelah
menelusuri pusat perbelanjaan yang besar dan megah itu, aku dan kawan
perjalanaku menuju ke food court. Disana kami mendapati mbak senior kami yang
sedang makan bersama temannya. Melihat makanan yang jelas menggoda dan minuman
yang embunnya terus menetes itu membuat aku dan perutku semakin tidak bisa
diajak kompromi. Ingin rasanya aku membeli makanan yang ada disana seperti saat
aku menghabiskan waktu dan uangku bersama teman-teman lamaku disini. Tapi aku
sadar. Kalau makanan di situ tida sesuai dengan isi dompetku yang malu ketika
aku membukanya. Kuputuskan menahan lapar. Kemudian mbak pipit menawari kami
segelas minuman yang tidak penuh kepada kami. Aku dan kawan perjalananku segera
meminum es itu walaupun awalnya malu-malu. Melihat kami begitu semangat menyedot
es itu sedikit demi sedikit, mbak anik yang sedang makan bersama temannya itu
mungkin pada saat itu melihat aku dan kawan perjalanku yang sedang berebut
meminum es yang tak penuh itu. Mungkin mereka iba melihat kami yang sedang
kelaparan kehausan dan kelelahan. Akhirnya mereka menyisakan sedikit nasi untuk
kami. Aku sudah tidak bisa menggambarkan betapa kejamnya bentuk nasi yang
diberikan pada saat itu. Tapi ketika diberikan kepada kami, aku langsung
menyobek selembar ayam goreng dan mengoleskannya kepada saus sambal merah yang
menggoda itu. Entah dimana awalya, pada akhirnya kami berlima yang memakan satu
piring itu, bayanganku di dalam tempat seperti tunjungan plaza itu kami makan
beramai-ramai. Satu piring lagi. Ah mau malu juga bagaimana lagi. Toh kami
kelaparan. Biar orang melihati aku dan kawan perjalananku dengan aneh asalkan
perut kami sedikit terisi. Mungkin ini yang ada dipikiran seorang pengamen,
pengemis ketika mereka mencari uang. Tak terasa satu piring bersih sudah. Habis
dimakan oleh kaum kelaparan seperti kami. Kemudian teman mbak anik yang baik
hati itu pun pergi. Aku pikir mereka akan pulang. Tapi ternyata tidak. Mereka
kembali sambil membawa 5 gelas es penuh. Bukan separuh lagi seperti yang tadi. Ah
betapa baiknya mereka. Ketika aku sedang asik menghisap sedikit demi sedikit es
itu, aku melihat sekumpulan perempuan muda yang mungkin setingkat lebih tinggi
diatasku sedang membawa es krim lucu nan imut. Disana mereka duduk sambil
menggosip. Entah apa yang mereka gosipkan yang jelas pada saat itu aku
berpikir, apa bedanya mereka dengan ibu-ibu yang ada dikampung yang juga sedang
menggosip? Apa juga bedanya mereka dengan pembatu2 yang sedang ngerumpi
membicarakan majikannya yang garang. Apa tujuan mereka kalau hanya sekedar
menggosip harus di tempat seperti tunjungan plaza sambil makan es krim kecil
yang harganya fantastis. Padahal menggosip dan negrumpi itu bisa dilakukan
dimana saja menurutku.
Perjalanan
masih terus berlanjut. Masih di dalam pusat perbelanjaan itu. Aku dan kawan
perjlananku masih terus mengitari bangunan besar, dingin, mewah, terang, dan
penuh dengan kerumunan manusia itu. Disana aku dan kawan perjalananku melewati
sebuah restoran. Di luar dari bagian restoran itu ada seorang sales di depan
restoran itu. Seyogyanya sebagai sales ia menawarkan apa yang dijual oleh
restaurannya kepada kami yang melewati areanya. Tapi mungkin karena penampilan
aku dan kawan perjalananku sedikit lusuh dan tidak se glamor mereka yang ada
disana mereka tidak menawari. Mereka hanya melihat kami lewat begitu saja.
Sedangkan tepat dibelakang kami ada seorang bapak-bapak yang memakai jas dan
rapi dandanannya. Sales itu langsung menawari seperti sales pada umumnya kepada
bapak itu. Dari situ aku berpikir. Ternyata orang hanya menilai dari kulit luarnya
saja. Di dalam pusat perbelanjaan itupun aku masih terus mengamati dan
mengamati. Aku lihat setiap orang yang datang selalu berdandan semaksimal
mungkin, mencolok, dan menonjolkan diri masing-masing. Menonjolkan apa yang
mereka punya. Seolah-olah mereka ingin agar semua orang yang berada disitu tau
kalo mereka itu lebih dari pada yang lain.
Perjalanan
selanjutnya adalah ke taman bungkul. Tempat orang berkumpul. Bermacam-macam
jenis orang. Tapi sebelumnya, dari tunjungan plaza menuju bungkul aku dan kawan
perjalananku mencegat bemo. Kali ini bemo nya bemo surabaya yang modelnya
berbeda dengan angkot yang aku naiki di madura. Modelnya sedikit longgar
menurutku. Tapi yang menarik dari bemo itu adalah orang yang ada di dalamnya. 3
orang wanita menarik perhatianku. Ketiganya terlihat seperti wanita karir. Aku
mendengar pembicaraan mereka. Salah satu dari mereka menyombongkan diri. Saat
itu mereka sedang membicarakan tentang keadaan luar negeri. Entah negara apa
persisnya. Yang jelas persisnya dalam hal itu mereka membanggakan negara lain
daripada indonesia negara yang tanahnya sedang mereka injak saat itu. Dari situ
aku menilai, ternyata orang indonesia lebih bangga ketika mereka bisa bercerita
atau tau tentang luar negeri daripada negerinya sendiri, Indonesia. Lantas buat
apa mereka berada di Indonesia kalau pada akhirnya mereka belajar ke luar
negeri lalu mebanggakan negara lain selain Indonesia?
Di
taman bungkul bemo itu berhenti. Aku dan kawan perjalananku melangkahkan kaki
keluar kendaraan umum itu. Meninggalkan 3 orang wanita karir yang sedang asik
berbicara tentang negara lain. Waktu itu sekitar pukul 10 malam. Itu adalah
pertama kalinya bagiku keluar rumah dan melihat betapa hiruk pikuknya kota
surabaya pada jam itu. Padahal apabila aku ada di rumah saat itu mungkin aku
sedang tertidur pulas sambil melihat televisi. Lampu kota yang terang
mengiringi langkahku menuju tempat berkumpul di taman bungkul. Sudah larut
memang. Tapi mungkin bagi mereka ini masih terlalu sore untuk pulang ke rumah.
Terlalu banyak jenis orang disana. Banyak juga kasta yang akhirnya tercipta
disana. Tapi aku tidak peduli karena aku datang ke sana karena tugas bukan
karena ingin bermain-main. Aku, kawan-kawan perjalananku, dan dua orang mbak
seniorku kemudian mencari tempat duduk yang pas sambil menunggu senior yg lain.
Kami terduduk di pinggir jalanan taman bungkul itu. Aku melihat sebuah hewan
berwarna putih karena terterangi oleh cahaya lampu yang sedang berterbangan di
atas kepala kawan perjalananku. Ya, nyamuk. Banyak sekali nyamuk yg mengerubuti
kepala kawan perjalananku semakin menandakan kalau aku dan kawan perjalananku
belum mandi dan semakin terlihat lusuh di mata berjenis-jenis orang disana.
Perutku
seolah mengikuti irama para pengamen jalanan yang ada disana. Ikut menari dan
menyanyi di dalam perutku. Seakan meminta sesuatu yang selalu aku tunda karena
aku slalu ingat lembaran kertas di dompetnya hanya tinggal 2 lembar saja. Tapi
vian, salah satu kawan perjalananku hendak berangkat membeli makanan. Nyanyian
di perutku semakin tak terkendali dan memaksaku untuk segera membeli makanan.
Tentu aku tak tahan. Langsung saja aku keluarkan selembar uang berwarna ungu
dari dalam dompetku lalu mnyerahkannya ke vian untuk membeli sebungkus nasi.
Langkah kaki vian semakin jauh meninggalkan aku dan kawan perjalananku yang
tersisa pada malam itu. Sembari menunggu aku sudah juga tidak tahan menahan air
kencingku yang ingin keluar. Aku putuskan ke kamar mandi bersama mbak anik.
Sepanjang perjalanan menuju kamar mandi yang ada disana, pemandangan yang
kuliahat juga biasa saja. Seperti banyak penjual, pedagang kopi, pengamen, dan
pengemis. Mereka seolah tidak peduli dengan orang yang datang ke taman bungkul
dengan pakaian yang bagus, rapi, dan trendy. Mungkin yang ada dipikiran mereka
saat itu adalah bagaimana caranya mereka mendapat uang banyak pada malam hari
itu untuk sesuap nasi di esok paginya. Di depan kamar mandi, aku masih
mengantri. Mengantri orang yang sedang.....entah aku tidak tau apa yang mereka
lakukan di dalam kamar mandi itu. Yang jelas lama sekali melebihi orang yang
sedang buang air besar. Setelah mendapatkan satu ruang kamar mandi di toilet
umum itu aku masuk. Melakukan apa tujuan ku datang kesana. Yaitu buang air
kecil. Mataku sudah menekuk separuh yang akhirnya aku putuskan untuk mengusap
wajahku dengan air. Mungkin bisa disebut cuci muka. Setelah segar, mataku
kembali terbuka lebar dan serasa siap menerima tugas apapun yang diberikan oleh
senior ku. Aku kembali ke gerombolan kawan perjalananku dan 2 mbak seniorku.
Nasi sudah datang. Jumlahnya ada 4 bungkus. Tapi jumlah aku dan kawan
perjalananku ada 5. Kami yang mungkin sudah sangat amat kelaparan segera
membuka karet yang melindungi bungkus nasi itu dan akhirnya telanjanglah nasi
goreng itu. Seolah siap untuk dinikmati bersama orang banyak. Suap demi suap
aku ambil dengan tanganku yang mungil
itu. Perutku terisi oleh satu suap nasi yang ada di tanganku. Semakin
terisi sedikit demi sedikit dan akhirnya perutku terisi lalu terdiam dari irama
musik lapar. Setelah perutku terisi dan terasa kenyang, kami segera menuju pada
kakak senior yang lain yang baru saja datang. Disana kami membaur dan segera
mendapat tugas. Tugas pertama aku dan kawan perjananku mendapat tugas untuk
mewawancarai pedagang asongan dan pengamen. Aku dan kawan perjalananku dibagi
menjadi 2 kelompok. Waktu itu aku sedang bersama toto dan mas imam. Kami diberi
waktu satu jam. 15 menit waktu kami terbuang ketika aku dan kawan perjalananku
itu mencari siapa yang hendak diwawancarai. Kami kebingungan saat itu. Akhirnya
kami menjumpai penjual kopi tua yang sedang duduk dan melayani orang yang ingin
membeli kopinya. Kami duduk dan segera memesan kopi. Inti dari pembicaraan kami
dengan bapak itu adalah, bapak tua itu adalah pendatang di surabaya. Beliau
datang dan berjualan di taman bungkul masih baru saja. Istrinya juga berjualan
diseberang bapak tua itu. Bapak itu mempunyai 3 orang anak. Seorang anaknya
sudah berkeluarga dan tinggallah beliau dengan 2 orang anaknya yang masih
bujang. Dari situ beliau menceritakan betapan nakal anaknya. Beliau bilang,
“anak saya tidak mau sekolah mbak mas kalo tidak dibelikan speda motor” miris
aku mendengarnya. Aku membayangkan kalau saja anak bapak tua itu adalah anak
ibuku, mungkin sudah dibiarkan saja dia tidak sekolah. Tapi apa yang dilakukan
oleh bapak tua itu. Dia bekerja keras demi anaknya supaya mau bersekolah.
Berjualan kopi dan rokok demi sebuah sepeda motor yang dipersembahkan untuk
anaknya yang tercinta. Aku berpikir betapa bodohnya anaknya. Apa anaknya itu
tidak tau kalau bapaknya ini bukan direktur atau manajer atau pegawai negeri
sipil yang bisa seenaknya diancam tidak bersekolah ketika keinginannya tidak
dipenuhi? Kemudian aku juga bertanya kalau kalau air hangat yang dibawanya
habis kemana beliau akan memasak air. Oh ternyata semua sudah tersedia disini.
Asalkan punya uang untuk membayarnya. Kalau saja sachetan kopiny habis tinggal
membeli kepada seseorang yang begitu juga dengan air panasnya. Saking asiknya
aku dan kawan perjananku itu mengobrol dengan bapak tua penjual kopi tak terasa
30 menit sudah aku menemani bapak itu ngobrol. Aku dan kawan perjalananku
langsung mengundurkan dari bapak tua itu. Terlihat dari raut wajahnya kecewa
karena kami tinggal. Padahal aku tau benar kalau beliau sebenarnya butuh kawan
untuk ngobrol dan berbicara karena beliau tidak punya teman.
Target
kedua adalah pengamen jalanan. Disana aku dan kawan perjalananku menanyai
kepada 2 orang pengamen jalan yang sedang menghitung uang hasil mengamen
mereka. Mereka adalah pengamen yang terorganisir disana. Disana sudah ada yang
mengatur segalanya atas kebutuhan mereka. Bahkan pengamen disana adalah
pengamen yang bisa disebut pengamen tingkat atas. Pasalnya bagian dari pengamen
itu kebanyakan masih bersekolah dan kuliah. Betapa terkejut hatiku ketika
mendengar pernyataan itu. Aku pikir mereka hanyalah pengamen liar jalanan yang
hidupnya tidak teratur. Setelah selesai mewawancarai pengamen jalanan, aku dan
kawan perjalananku kembali ke gerombolan. Disana aku mendapat tugas lagi yaitu
mewawancarai satu komunitas atau orang yang bergerombol yang ada disana. Kami
dimiinta untuk bertanya apa tujuan mereka datang bergerombol disana. Tapi
bedanya ini bukan tugas kelompok. Melainkan tugas individu. Aku yang hanya
seorang wanita dalam tugas ini bingung. Karena aku tidak berani mewawancarai
seorang diri. Aku takut karena sebagian orang yang masih tersisa pada malam
larut itu adalah laki-laki. Akhirnya aku mengekor kepada toto dan vian. Disana
aku seperti mengelilingi taman bungkul karena aku tidak tau dan tidak berani
untuk mewawancarai setiap kelompok yang ada disana. Vian sudah mendapat
targetnya. Sementara aku dan toto masih belum. Akhirnya aku mendatangi
sekumpulan anak laki-laki, tentu saja dengan toto ada dibelakangku. Aku tidak
banyak bertanya karena aku malu dan takut. Yang jelas tujuan sekelompok
laki-lakiitu datang ke taman bungkul hanyalah untuk nongkrong dan berkumpul.
Aku juga bertanya pada mereka tentang satu hal yang ingin ku tanyakan juga
kepada pengunjung taman bungkul yang lain. “apa mas nggak dimarahin orang
tuanya kalo jam segini belum pulang?”
ketika aku bertanya seperti itu mereka tertawa dan menjawab pertanyaanku “ya
enggaklah kita kan sudah besar. Kalo nggak dibolein pulang malam ya paginya aja
pulangnya” begitulah jawab mereka.
Tugas
di taman bungkul pun selesai dan perjalanan masih berlanjut. Kali ini
perjalanan di teruskan ke wonokromo. Aku tidak tau tempat apa yang akan aku
kunjungi. Apakah akan ramai dan megah seperti TP atau sepi seperti kuburan.
Yang jelas, perjalanan menju tempat yang ketiga ini tidak menggunakan
kendaraan. Melainkan menggunakan langkah kaki kecilku yang mulai terlelah
karena perjalanan yang panjang. Aku dan kawan perjalananku terus berjalan lurus
mengikuti arus yang ada dengan ditemani lampu kota yang cahayanya sedikit redup
dan terkadang ada yang menyala terang. Kendaraan yang semakin berkurang di
jalanan semakin menandakan kalau hari itu semakin larut dan larut namun aku
masih belum bisa terlelap karena tugas ini. Tugas yg tidak aku tau tujuannya
adalah apa? Kakiku yang mulai lelah ini masih terus berjalan dan berjalan.
Melawan rasa lelah yang menyerang tubuhku. Hingga menuju ke sebuah tempat.
Tempat itu ramai. Aku heran, di malam yang semakin larut ini masih ada tempat
yang seramai ini. Kakiku berjalan ke arah yang semakin dekat tempat keramaian
itu. Semakin dekat hingga akhirnya masuk ke dalamnya. Baru disana aku tau kalau
itu adalah pasar. Aku tidak tau pasar apa itu. Pasar yang bukanya di tengah
malam yang dingin ini. Baru lah setelah mbak pipit memberi tauku kalau ini
adalah pasar maling. Oh jadi ini pasar maling. Tidak berbeda jauh dengan pasar
pada umumnya. Ramai hanya saja tidak sesak seperti pasar yang aku ketahui slama
ini. Ada satu yang janggal di pasar ini. Aku tida melihat orang berjilbab di
pasar ini. Tapi langkah dan pandangan ku terhenti ketika salah satu dari kakak
seniorku meminta aku dan kawan perjalananku maniki sebuah anak tanggah yang
kumuh dan kotor. Spontan saja aku jijik merasanya. Terpaksa saja aku melewati
anak tangga itu. Kaget rasanya begitu selesai meloncati anak tangga dan
pembatas yang ada disana ada suara ayam. Aku langsung melihat sekitar dan
berpikir, tempat macam apa ini. Gelap. Dingin. Sunyi. Sepi. Ah banyak sekali
gambaran buruk yang aku pikirkan disini. Semakin bururk ketika aku masuk
kedalamnya dan melihat banyak pria dan wanita dengan kain minim yang melapisi
tubuhnya. Seolah tidak perduli dengan angin dingin yang menusuk tulangnya. Dan
ketika aku semakin masuk dan melihat-lihat keadaan sekitar aku semakin tau
kalau ini adalah tempat prostitusi. Tempat prostitusi yang selama ini hanya aku
kira ada di dalam televisi-televisi indonesia. Setelah aku duduk dan
mendiskusikan apa yang akan kita lakukan disini, aku dibagi tugas untuk
mewawancarai pelacur dan ibu-ibu warung yang ada di stasiun wonokromo ini
(baca: lokalisasi). Tapi untungnya aku tidak sendiri dalam tugas kejam ini. Aku
ditemani mas ginan. Dari sini aku berjalan menelusuri tiap bagian di tempat
ini. Berbeda dengan yang di tunjungan plaza tadi, di sini aku memang
berjalan-jalan. Tapi aku merasa aku berjalan di sebuah kesunyian dan jauh dari
ke-hiruk pikuk-an yang ada di tunjungan plaza tadi. Bicara pun aku tidak bebas.
Aku bicara seperti berbisik dan sesekali sambil melihat keadaan sekitar.
Kemudian mas ginan membawaku pada sebuah warung yang minim cahaya. Disana aku
diberi perintah untuk bertanya kepada penjual warung itu. Namun ketika aku
masih memesan secangkir kopi, penjual warung itu sudah memandang aneh pada
diriku. Seolah aku punya salah yang banyak dan aku tidak pantas berada di
tempat itu. Kontan saja aku takut ketika harus bertanya kepada penjual warung
itu “tempat apa ini?”. Belum sempat mulutku terbuka untuk bertanya kepada
penjual warung itu, mataku langsung tertuju pada apa yang ada di belakang
terpal warung itu. Beberapa wanita seksi sedang duduk-duduk disana sambil melihat
ke arahku. Aku takut. Aku salah apa sehingga orang-orang yang ada disini
melihatku sperti ini. Sembari menghilangkan rasa takut, aku minum segelas air
putih yang ada disana. Tiba-tiba seorang pelacur datang menghampiriku dan
menanyai aku. “ngapain mbak disini?” “lagi
nunggu kereta buk” “emangnya mau kemana mbak?” “ke jogja buk....” hampir saja ibu itu bertanya padaku tapi aku
langsung bertanya kepadanya “...ini
tempat apa ya buk kok rame skali” kemudian ibu itu menjawab dengan halus
dan menghilangkan rasa takutku “ini tempat main mbak. Hati-hati ya kalau
disini” pesan ibu itu menangkan hati sekaligus mewawaskan perasaan ku. Kemudian
mas ginan mengajkku skali lagi berjalan-jalan mengelilingi daerah ini. Ketika
aku berjalan lurus aku melihat sebuah tenda kecil yang gelap. Disana aku
melihat secara langsung. Sepasang anak manusia yang saling bercumbu. Huh betapa
beruntungnya aku bisa melihat yang seperti itu secara langsung. Kemudian mas
ginan merasa tugasku masih belum selesai. Skali lagi dia mengajakku ke sebuah
warung namun lain penjualnya. Awalnya ibu penjaga warung disitu tidur. Namun
setelah dibangunkan mas ginan, ibu itu seperti kaget melihat ku. Seperti ada
sesuatu yang salah pada diriku. Aku semakin merasa ketakutan disitu. Aku merasa
semakin tidak berani bertanya kepada ibu itu. Untungnya mas ginan memulai
pembicaraan terlebih dahulu. Lalu aku bertanya-tanya kepada ibu itu walaupun
ibu itu menjawab dengan ketus dan jahat menurutku. Beliau adalah orang
banyuwangi yang datang ke surabaya sudah cukup lama. Beliau bertempat tinggal
di tambak asri yang menurutku jauh dari wonokromo itu. Pelacur disini berasal
dari berbagai kota katanya. Setelah aku bertanya-tanya kepada ibu, aku pergi
bersama mas ginan. Kembali menuju ke tempat kumpulnya aku dan kawan-kawan
perjalananku. Ketika aku berjalan menuju tujuan aku melihat banyak sekali
wanita dengan pakaian minim yang berdiri di sepanjang jalan. Kemudian aku
mendengar ada pelacur yang menyindirku. Dia berkata bahwa dia takut dengan
wanita berjilbab seperti ku. Aku sedikit terperangah ketika mendengar
pernyataan itu. Aku bingung harus apa. Marah? Diam? Atau aku ikut menyaingi
mereka berpakaian minim supaya terlihat keren diantara mereka? Tapi aku terus
saja berjalan dan menuju tempat berkumpul. Sesampainya di tempat berkumpul, mas
citra salah satu dari kakak seniroku berkata kalau ini adalah tempat pelacuran
paling nista diantara yang lain. Dan aku berpikir, benar juga apa yang mas
citra bilang. Bayangkan saja, tubuh mereka hanya dihargai 40.000 rupiah. Itupun
masih bisa ditawar. Aku sebagai wanita hanya bisa diam sambil terheran. Lantas
untuk apa mereka menjajakan tubuhnya seperti makanan yang ada di warung.
Padahal makanan di warung tidak bisa ditawar. Sedangkan tubuh mereka? Bisa di
tawar layaknya ikan yang ada di pasar. Sungguh hina dan nista. Lagi-lagi hanya
2 kata yang bisa menjawab pertanyaanku ini yaitu BERTAHAN HIDUP.
Tuhaaan...............................................
Dini
hari itu sekitar pukul setengah 4 pagi aku baru di perbolehkan tidur dan
beristirahat. Disana aku tidur tidak teratur. Aku tidak tidur di kasur yang
hangat seperti biasanya melainkan tidur di stasiun kereta api yang disebelahnya
terdapat rel. Namun aku tidak perdulu. Mataku semakin berat dan semakin ingin
menutup saja. Aku pun tertidur pulas.namun hawa dingin yang menusuk mengganggu
tidur nyenyak ku dimalam yang dingin ini. Sungguh mengganggu. Sangat dingin
hingga menusuk tulang belulangku. Ya tuhan inikah yang dilakukan para
tunawisma, anak jalanan, dan pengemis yang tidak punya rumah. Setiap hari
mereka tidur dalam keadaan seperti ini. Mereka jalani dan mereka terima dengan
ikhlas. Mereka tidak mengeluh sedangkan aku, aku pun juga tidak bisa berkata
apa-apa dan ternyata inlah kehidupan yang sesungguhnya. Bagi mereka pelacur,
pengamen dan orang 2 yang jauh berada di bawahku kehidupan bagi mereka adalah
selalu kopi pahit. Bukan kopi susu.
Adzan
subuh terdengar sudah. Namun aku tak ingin segera bangun. Aku masih ingin tidur
dan meneruskan mimpi. Mimpi buruk akibat perjalanan semalam. Tapi aku harus
menunaikan kewajibanku sebagai muslim. Aku paksa tubuhku yang lelah ini untuk
bangun dan segera bangkit dari tidur singkat ini. Kemudian mas imam mengantarku
menuju mushola di stasuin untuk menunaikan ibadah solat shubuh. Dingin yang
menusuk tubuhku dan menembus tulangku masih terasa hingga matahari menampakkan
batang hidungnya. Tapi aku tetap melanjutkan langkah kaiku menuju musholla yang
ada di stasiun itu.
Perjalanan
masih berlanjut dan skrng menuju ke tempat yang terakhir yaitu terminal bungurasih.aku
dan kawan perjalanaku naik bis ber ac menuju ke terminal bungurasih. Sepanjang perjalanan menuju ke
bungurasih aku tidur terlelap. Aku tidak sadar apa sajaa yang terjadi saat aku
didalam bis. Yang jelas mataku terbuka ketika aku sampai di bungurasih. Di
bungurasih aku dan kawan perjalananku diberi tugas. Tugasnya ya seperti
kemarin. Mewawancarai penumpang yang hendak naik bus, pengamen jalanan, dan
calo. Penumpang dan pengamen jalanan mudah dicari, sedangakn calo sangat amat
susah apalagi pada saat itu mas citra menugaskan kami untuk mencari caloyang
bernama mas budi. Setelah selesai mewawancarai paranpenumpang yang hendak
berangkat dan pengamen jalanan yang ada di terminal bungurasih itu, aku dan
kawan perjalananku berb=gegas mencari calo yang bernama mas budi untuk segera
di wawancarai. Tapi kami semua tidak dapat membedakan yang mana calo dan mana
yang penumpang atau apalah. Pada saat itu vian, kawanku kedapatan akan
mewawancarai seorang calo tapi ternyata, belum sempat kami bertanya pada calo
itu, ternyata calo itu sudah sadar diri ketika kami akan menginterogasinya. Ah
yasudahlah aku dan kawan perjalananku memutuskan untuk kembali ke gerombolan
dan akhirnya perjalananku yang menyebalkan ini berkahir di bungkul.
Kesimpulannya
disini aku belajar banyak hal. Belajar hidup. Belajar susahnya bertahan hidup
diantara manusia yang semakin lama semakin bersifat konsumtif. Bertahan hidup
diantara manusia yang semakin tak peduli dengan sesame manusia lain. Padahal
manusia adalah makhluk social. Namun kenapa sekarang mereka sangat tidak peka
dengan apa yang ada di sekitarnya. Dari tempat mewah se mewah tunjungan plaza,
turun ke taman bungkul, kemudian turun ke lokalisasi wonokromo, dan berkahir di
terminal bungurasih. Bagiku ini pengalaman hidup pertama kali yang aku alami
dan tak akan kulupakan selama hidupku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar